Imigran #2 - Direkam Oleh Ingatanku : 05 Minggu Mundur

on Wednesday, August 2, 2017
            “Yang benar kalau jalan!” ujar Paman yang barusan hampir menabrakku.
            “Sini tunjukin gimana jalan yang benar!” balasku. Tentu saja dalam hati, mana berani aku terang-terangan.
            Setiap orang yang berlagak hebat di muka bumi ini menurutku adalah orang bodoh. Paman tadi sebagai contoh. “Yang benar kalau jalan.”? Konyol. Bagaimana bisa sesuatu dikatakan tidak benar bila ternyata berfungsi? Aku berjalan, teknik berjalanku berfungsi. Jadi mananya yang tidak benar? Aku hanya berjalan sedikit ke tengah, menghindari genangan air, hujan sering turun akhir-akhir ini. Hey, itu merupakan tindakan yang mulia. Menghindari sepatu sekolahku kotor, membuat ibuku lebih mudah mencucinya. Tidak terbayangkan betapa banyaknya pahala yang aku dapat dari melakukan ini. Aku hanya tidak melihat kebelakang terlebih dahulu sebelum melakukannya.  Bukan masalah besar.
            Paman tadi merupakan orang yang bodoh. Dia menggunakan kata-kata yang salah. Bila dia mengucapkan “Hati-hati kalau jalan,” mungkin aku akan lebih terhenyuk. Aku mungkin akan bertaubat dan bersumpah kepada diriku sendiri untuk tidak pernah meninggalkan kehati-hatian ketika berjalan, menjadi pejalan kaki yang bijaksana, bukannya malah memaki dia dalam hati seperti tadi. Perubahan merupakan hal yang sulit didapatkan dariku, Paman itu seharusnya bangga. Tapi dia tidak, karena apa? Karena dia orang yang belagak hebat, dan menggunakan kata-kata yang salah, dan bodoh. Orang-orang seperti ini cenderung membuka apa yang ada dalam diri mereka, sehingga mereka muncul dan terpandang dalam kehidupan sosial, sehingga mereka bisa bersosialisasi secara nyata, sehingga orang-orang bisa tahu apa dan siapa mereka (termasuk yang dirahasiakan), bahkan mereka yang tidak perlu tahu. Aksi yang dilakukan Paman tadi memberi tahuku dua hal, betapa garangnya dia dan betapa minimnya isi otaknya (yang dia rahasiakan). Dasar bodoh.
            Aku? Oh aku memperhitungkan diriku sebagai orang yang pintar, terlepas dari nilai rata-rata rapotku yang 5,5 (Nilai Bahasa Indonesia dan Prakaryaku 7,5!). Aku merupakan orang yang pintar karena aku tidak berlagak hebat dan menyimpan hal-halku dalam diriku sendiri. Untuk apa menang di luar bila di dalam diri kita tidak. Aku selalu menang di dalam diriku. Dengan Paman tadi? Aku menang. Seperti tadi, aku memakinya dalam diriku. Dia tidak tahu, aku menang kan? “Dasar tua-tua keladi!” Dia tidak datang kembali dan memakiku balik. Lihat? Aku menang. Mengganggap pemiikiranku aneh? Baguslah. Ini telah membuatku bertahan hidup hingga sejauh ini. Aku tidak ingin membaginya, tidak akan semudah itu bertahan hidup bila orang sudah tahu caramu. “Paman tua bangka!” Kemenangan telak.
            Setiap cara hidup memiliki titik bencanannya, situasi dan lokasi dimana cara hidup ini tidak efisien. Dalam caraku, situasi itu adalah dimana distraksi dari luar menggebu-gebu tanpa henti tidak memberikan kesempatan kepada kesadaran di dalam diriku untuk memenangkan situasi. Dalam caraku, lokasi itu dirumahku. Lokasi dimana aku menghabiskan waktuku hampir setiap hari seumur hidupku. Bukan aku tidak memiliki tempat lain untuk mengabiskan waktu, hanya saja hidup di tengah-tengah bencana terlihat sangat jantan. Akan banyak wanita yang jatuh hati bila mereka tahu hal ini.
            Aku membuka sepatu sekolahku dan masuk ke dalam rumah.
            “Assalamualaikum,” pintaku.
            “Anakkuu, anakku sudah pulang ternyata.” Oh bencanaku yang indah.
            Aku masuk ke dalam kamarku dan menutup pintu kamarku.
            “Kalau orang tua nyambut tuh di jawab!” Teriak suara yang sama dengan suara yang tadi.
            "Ya aku harus jawab apa!? Ibu kan ngomong gitu setiap hari! Memangnya ibu kalau masuk Indomaret menjawab sambutan mbak-mbak kasirnya!?" Ada yang bilang ketika bencana menghampiri, keluarkanlah segala yang kamu mampu. Terpujilah orang tersebut atas pencerahannya.
            “Bagus! Menjawab saja terus!”
            “Salah Ibu sendiri meneriaki makhluk tidak berdosa!”
            “Memang kamu lah anak paling benar di dunia ini!”
            “Amin!”
            “Bagus! Menjawab saja terus!”
            Aku berhenti membalasnya, Ibuku memutuskan untuk berhenti juga. Aku beruntung kali ini cukup singkat, bencana seperti ini biasanya berlangsung berjam-jam.
            Kamarku yang berukuran dua tempat tidur lebar, dua lemari dan dua meja belajar merupakan ruang kerja yang paling ideal bagiku. Ada apa? Bingung dengan ukurannya? Lebih jelasnya bila tempat tidur lebarku ada dua (tempat tidur lebarku hanya satu), lemariku ada tiga (lemariku hanya lemari baju dan lemari buku, aku butuh satu lemari lagi untuk menyimpan koleksi rahasiaku, aku harap ibu secepatnya pergi berbelanja, dia selalu kembali dengan barang-barang tidak berguna, minggu lalu kursi goyang, mungkin berikutnya lemari) dan meja belajarku ada dua (tentu saja meja belajarku satu, dan itu sedikit berdebu, hanya beberapa sarang laba-laba dan debu setebal tiga milimeter, benar-benar hampir tidak terlihat berdebu), lalu semuanya ditumpukkan seperti permainan tetris, maka terbentuklah kamarku. Semudah itu untuk dipahami, tidak perlu kesulitan menghapal ukurannya dengan angka dan satuan ukur. Apakah aku lupa mengatakan kalau nilai matematikaku 4,5?
            Oh dan tentu saja aku bekerja. Aku bukan seorang pemalas. Pekerjaanku merupakan pekerjaan yang sangat sedikit orang di muka bumi ini bisa melakukannya. Aku merupakan seorang penjelajah. Bahkan lebih hebat lagi, aku penjelajah di tempat. Jalan di tempat adalah aktivitas berjalan namun tetap di tempat, penjelajah di tempat adalah aktivitas menjelajah namun tetap di tempat. Dengan pikiranku, aku dapat menjelajah ke segala tempat, melakukan segala hal, berada di tempat yang tidak terjangkau, atau bahkan yang belum pernah ada sekalipun. Tidak hanya itu, aku juga mampu menjelajah ke dunia lain, salah satu yang sering kujelajahi adalah dunia maya, dan masih dalam posisi tetap di tempat. Sekarang coba sebutkan seseorang yang kalian kenal yang bisa melakukan hal ini? Benar, tidak ada. Sekarang kalian paham kan betapa sulitnya pekerjaanku. Sebutan orang-orang untuk pekerjaanku adalah “berkhayal”. Terdengar bodoh, aku tidak terlalu memperdulikannya. Aku yakin mereka hanya iri karena tidak dapat melakukannya. Dan aku sangat hebat melakukannya bila berada di ruang kerjaku. Akhirnya aku mengerti mengapa kata “ruang kerja” diciptakan.
            Aku melihat jam dinding di kamarku. Pukul 2 siang. Adzan Zuhur sudah lama terdengar saat aku pulang sekolah tadi. Bencana mungkin akan datang tidak lama lagi. Pertolongan pertama pasca bencana telah lama diciptakan. Pertolongan pertama pra bencana belum pernah diciptakan. Aku, Andri Raha, dengan ini mematenkan karyaku, “Pertolongan Pertama Pra Bencana”.
PERTOLONGAN PERTAMA PRA BENCANA
  1. Bergegaslah berganti pakaian.
  2. Letakkanlah perlengkapan sekolah kembali pada tempatnya.
  3. Laksanakanlah ibadah sholat lima waktu.
  4. Duduklah didepan meja belajar.
  5. Serakkan seluruh buku yang terlihat penting dalam keaadan terbuka di meja belajar (tidak perlu terlalu mempermasalahkan debunya).
  6. Genggam alat tulis dengan tangan kanan, penghapus dengan tangan kiri, tidak lupa juga sangkutkan alat tulis lain di telinga kanan dan kiri.
  7. Bernafas dengan tenang (opsional).
  8. Letakkan kepala diatas tumpukan buku dan tidur (opsional).
  9. Minum obat tidur (sangat opsional).
  10. Beranikanlah dirimu.
            Beberapa hari yang lalu aku melakukan setiap hal yang ada dalam daftar tersebut, namun bencana tetap menghampiriku. Jangan salahkan aku. Tidak semudah itu untuk menjadi seorang penemu. Hari ini, aku juga melakukan setiap hal dalam daftar ini. Menurutmu hari ini akan berakhir sama? Tidak juga. Aku bukanlah orang yang tidak belajar dari kesalahan. Oleh karena itu, apa yang aku genggam di tangan kiriku bukanlah penghapus, melainkan ponselku.
            Ibuku membuka pintu kamar, mengintipkan kepalanya melihatku.
            “Bagus! Gak sholat-sholat ya kamu!” rewel ibuku.
            Aku memberikan tatapan penuh tanya, “Sudah daritadi.”
            “Terus? Enggak belajar?” lanjutnya.
            “Ini memangnya lagi ngapain?”
            Aku memang sedang belajar. Aku merupakan seorang pelajar yang giat, aku tidak pernah tidak mengerjakan PR-ku. Hanya saja, aku tidak pernah menjawab dengan benar. Menurutku itu ada hubungannya dengan keahlianku dalam pekerjaanku, menjelajah. Aku menjelajahi segala jawaban yang ada, mencoba menjawab dengan jawaban yang belum pernah ada sebelumnya. Menjawab sebuah pertanyaan dengan jawaban yang belum pernah diitemukan oleh umat manusia akan terlihat sangat mengagumkan, hanya saja guruku belum siap menerima sebuah perubahan.
            “Main handphone,” jawab ibuku sambil menganggukkan kepalanya ke arah ponselku.
            Aku menggelengkan kepalaku, “Aku sedang mendalami sebuah pesan pencerahan. Mencoba menjadi seorang anak yang berbakti.”
            Aku menyalakan ponselku, memutar rekaman yang aku tunggu-tunggu untuk putar sedari tadi.
            “Kalau kamu Andri ingin membahagiakan Ibu, cuma satu hal yang Ibu minta. Sholat lah kamu lima waktu Andri, jangan ada yang tinggal. Cuma itu yang Ibu minta dari kamu, enggak perlu lagi yang lain-lain. Kamu lakukan itu, udah puas kali Ibu.”
            Rekaman itu cukup panjang, namun baik aku dan ibu mendengarkannya hingga selesai. Aku dengan wajah penuh kemenanganku, Ibu dengan wajahnya ketika dia melihat tagihan air.
            “Bagaimana? Aku sudah cukup menjadi anak yang berbakti kan? Apa aku dapat penghargaan sekarang?”
            “Sholat itu kan kewajibanmu. Tanpa perlu ibu ngomong begitu juga memang sudah harus kamu laksanakan.”
            Aku menyalakan ponselku kembali dan memutar rekaman kedua.
            “Kalau kamu Andri ingin membahagiakan Ibu, cuma satu hal yang Ibu minta. Belajarlah kamu yang giat Andri, jangan banyak main-main. Cuma itu yang Ibu minta dari kamu, enggak perlu lagi yang lain-lain. Kamu lakukan itu, udah puas kali Ibu.”
            “Wow dua permohonan sudah dipenuhi oleh anak yang berbakti ini. Aku benar-benar sudah harus dapat penghargaan saat ini.”
            “Kamu ya Andri! Bisa-bisanya kamu mempermainkan Ibumu! Terus kalo kamu udah sholat, udah belajar, kamu bisa santai? Kamu enggak perlu bantu-bantu dirumah?” Ibuku mulai melampiaskan kekesalannya. Aku tidak suka ini.
            “Ibu, jadi ibu mau aku melakukan yang mana? Sholat, belajar, atau bantu-bantu dirumah? Aku enggak bisa melakukan semuanya sekaligus.”
            “Bukan itu yang Ibu maksud! Ibu enggak ada nyuruh kamu melakukan semuanya.”
            “Ibu! Ibu baru saja bilang seperti itu! Kalau sudah sholat, belajar, jangan kira bisa santai. Jangan kira enggak perlu bantu-bantu dirumah. Itu artinya aku harus kerjakan semuanya! Ibu, bagaimana bisa aku santai kalau dari pagi sampai malam aku belajar terus? Misalkan aku potong-potong waktu belajarku, ilmu apa yang aku dapat? Ngantuk? Enggak perlu belajar juga aku sudah ahli. Dan pekerjaan rumah macam apa yang bisa aku kerjakan dengan waktu yang setengah-setengah? Cukup katakan saja Ibu mau aku melakukan yang mana. Ayolah Bu, jadilah rasional.”
            “Kamu enggak bisa ya enggak melawan Ibu terus!?”
            Ibuku kemudian melanjutkan omelannya selama berjam-jam meskipun aku sudah diam dan tidak membalasnya lagi. Benar-benar bencana yang tangguh. Nampaknya perjalananku dalam menjadi penemu “Pertolongan Pertama Pra Bencana” masih harus menempuh jalan yang panjang. Aku mengambil opsi terakhir, meminum obat tidur, berusaha kabur dari bencana yang terus mengejarku.

            Kemarin sore aku bangun tepat saat ayah pulang ke rumah. Ibu mulai mengomel mengenai Ayah akan sesuatu yang tidak perlu dipermasalahkan, bahkan sebelum Ayah masuk ke dalam rumah. Aku yang sedang menikmati cemilan sore di meja makan bersama Ibu secara tidak sadar membela Ayah atas kesalahannya yang bahkan dia tidak tahu pernah dilakukannya. Ibu, bencanaku yang tidak terkalahkan, seperti biasanya tidak suka bila omongannya ditentang. Jadi dia balik memarahiku. Ayah masuk ke dalam rumah, terlihat tidak bersalah – yang mana memang dia tidak bersalah, menghampiri kami dan bertanya apa yang terjadi. Ibuku mengadu dengan membabi buta mengenai hal-hal yang tidak kulakukan dengan fantasinya yang di luar batas. Mendengar pengakuan dari Ibu, Ayah dengan senang hati menawarkan bantuannya untuk ambil bagian mengomeliku. Betapa sebuah cara yang indah untuk mengucapkan terima kasih.
            Dan sekarang disinilah aku, berada di kendaraan umum, dalam perjalanan pulang dari sekolah mencoba untuk mengulangi hari yang sama. Untuk ukuran seseorang yang selalu ditimpa bencana setiap hari, aku benar-benar tidak belajar banyak. Bagaimanapun juga, menghadapi bencana setiap hari tidak terlalu sehat. Aku setuju. Aku meminta supir untuk menepikan kendaraan.
            Aku turun tidak di lokasi di mana aku biasanya turun saat aku hendak pulang ke rumah ketika pulang sekolah. Aku turun sedikit lebih jauh, di tempat yang lebih tidak berpenduduk. Tidak berpenduduk berarti tidak ada rumah-rumah disekitar, tidak ada kedai untuk berteduh. Benar-benar pilihan lokasi turun terbaik di tengah sinar matahari terik ini. Inilah hasil dari bertindak sesuai nurani. Beruntung aku memakai jaket.
            Aku menyusuri jalanan sempit bergelombang tepat di belakang lokasi turunku dengan tenang. Bahkan tidak jalanan sepi dengan belukar mencurigakan di kiri dan kanan seperti ini dapat membuatku panik. Alasan lainnya adalah karena aku sudah sering berada di sini sedari aku kecil. Ini adalah lokasi bermainku, lokasiku bermain seorang diri. Untuk ukuran anak yang tidak memiliki teman, aku cukup liar dalam hal mencari tempat bermain. Bagaimana bisa tidak bila seluruh tempat bermain di sekitar rumahmu telah disabotase oleh anak-anak yang tidak ingin bermain denganmu?
            Keuntungan dari sering bermain di sini sedari kecil adalah aku tahu tepat kemana aku menuju, dan aku tahu tepat di mana tempat yang paling menyenangkan untuk menghabiskan waktu. Dan ngomong-ngomong, apa yang aku maksud dengan “menghabiskan waktu” adalah benar-benar menghabiskan waktu.
            Aku telah sampai di tempat menghabiskan waktuku. Dan seperti yang aku duga, di tempat ini sangat terlindungi dari sinar matahari. Bagaimana bisa tidak bila beton setebal dua meter menggantung tepat di atasmu hingga beberapa meter ke depan. Aku duduk di tepi dinding dalam parit di bawah jembatan ini. Ironi sekali diriku dulu berjalan jauh hanya untuk duduk di kolong jembatan seperti ini. Biasanya aku duduk di sini sambil menyaksikan anak-anak sekitar bermain sepak bola di tanah lapang di bawah. Jangan salah, aku tidak ikut bermain karena aku menolak. Bangku penonton yang berada 2 meter di atas kepala mereka ini terlalu sayang untuk di tinggalkan demi berlumpur-lumpuran dan berjatuh-jatuhan di bawah. Namun alasan terutamaku adalah aku tidak ingin beresiko menjadi orang yang menendang bola masuk ke dalam sungai di sebelahnya. Sudah cukup aku dibuang oleh lingkungan sebelah, tidak perlu disini juga. Lebih terutama lagi adalah karena mereka hanya mengajakku sekali.
            Meskipun kolong jembatan ini terlihat mirip sekali dengan parit kolong jembatan terbengkalai di permainan GTA, namun tempat ini sangat bersih. Hadirnya anak-anak sekitar yang memakai tempat ini untuk bermain bola membantu membuat tempat ini terlihat bersih. Alasan terutamanya adalah karena ada Bapak-Bapak – yang selalu menjadi wasit di pertandingan sepak bola mereka – yang rewel memerintahkan para anak untuk membersihkan sampah yang ada di kolong jembatan, bahkan termasuk aku, sang penonton yang tidak berdosa.
            Namun semenjak tempat ini direnovasi dan tanah lapang di bawah dibuat menjadi drainase, aku tidak pernah lagi melihat anak-anak tersebut berada di sini. Kolong jembatan ini sekarang sama terbengkalainya dengan kolong-kolong jembatan lainnya dengan beton-beton sisa kontruksi yang ditumpuk di bagian dalam kolong jembatan yang merusak keindahan tempat yang dulu aku kagumi ini. Akibatnya sekarang aku harus membersihkan sampah-sampah yang ada disini seorang diri. Sebuah pembayaran untuk mendapatkan sebuah ruang privasi, setidaknya keheningan dan kenyamanan dari tempat ini masih tidak hilang. Bila kamarku merupakan ruang kerjaku, maka ketika aku berada di kamar itu aku akan bekerja, bukan beristirahat. Oleh karena itu dengan bangga aku perkenalkan, ruang istirahatku, kolong jembatan.
            Aku terus mendengarkan suara gemuruh kendaraan dari atas jembatan selama berjam-jam. Tempat ini memang hening, namun suara kendaraan masih samar-samar terdengar, seperti suara AC di ruangan yang hening. Hal ini menenangkan, membuatku tahan duduk atau berbaring di sini seharian. Bukankah itu yang dikatakan beristirahat? Tidak melakukan apapun? Orang yang beristirahat dengan mendengarkan lagu atau bermain game adalah pecundang. Mereka tidak mengerti esensi sebenarnya dari kata istirahat. Terpujilah kami para kaum yang beristirahat dengan tidur dan tidak melakukan apapun. Menghabiskan waktu adalah kuncinya.
            Sayangnya, hari ini aku tidak bisa terlalu lama berada di sini. Alasannya adalah karena aku harus menonton pertandingan sepakbola tim kesayanganku sore nanti. Aku merupakan seorang penonton yang berbakat, sedari kecil sudah menjadi penonton. Timku membutuhkanku untuk melancarkan mantra-mantra pembawa petaka kepada tim lawan, mana bisa aku mengecewakan mereka.
            Aku bangkit berdiri dan membersihkan bagian belakang pakaianku dari debu yang menempel. Ketika aku berbalik, aku melihat seseorang. Orang itu melihatku. Itu merupakan tatapan mutualisme. Bila aku tidak salah menghitung, telah berlalu 10 detik semenjak mata kami bertemu. Baik aku maupun dirinya terpaku diam tidak melakukan apa-apa. Haruskah aku lari? Ya, seharusnya aku lari. Bila kalian melihat apa yang aku lihat, kalian akan setuju ini merupakan situasi yang aneh. Tepat ketika aku hendak menggerakkan kakiku, gadis telanjang didepanku itu berbicara.

0 comments:

Post a Comment