ABIS NONTON : BLADE RUNNER 2049 (2017) BALADA DRAMA SEGAR PADA SERIAL FIKSI ILMIAH (REVIEW)

on Tuesday, September 4, 2018
Para penggemar aktor Ryan Gosling tentunya tidak akan asing bila mendengar film Blade Runner. Benar sekali, film ini adalah film terbaru Ryan Gosling di tahun 2017 setelah sebelumnya sukses membintangi film drama musikal La La Land yang meraih berbagai penghargaan. Berbeda dengan La La Land dimana Ryan Gosling berperan sebagai pameran pria utama berlatar belakang pemusik, pada film Blade Runner 2049 ini Ryan berperan sebagai pameran utama yang berlatar belakang fiksi ilmiah.

Serial Blade Runner merupakan film yang tokoh karakternya diadaptasi dari novel Do Androids Dream Of Electric Sheep buah tangan dari Philip K. Dick. Film pertama dari Blade Runner dirilis tahun 1982 dengan latar cerita di tahun 2019, lalu pada tahun 2017 dirilis film keduanya yang berlatar cerita 30 tahun setelahnya yaitu Blade Runner 2049. Akan hal ini, penonton yang baru pertama sekali menonton Blade Runner akan sedikit kebingungan dengan beberapa adegan film.

Film Blade Runner 2049 bercerita tentang K (Ryan Gosling), yang merupakan Replicants (sebutan bagi Android) jenis baru yang bekerja sebagai Blade Runner (sebutan untuk polisi yang memburu para Replicants jenis lama pemberontak). Pada awal-awal film, alur cerita masih konsisten pada judulnya yaitu Blade Runner yang memburu Replicants pemberontak. Namun ketika mulai memasuki pertengahan film, K dihadapkan dengan sebuah misteri yang cukup membingungkan hingga akhirnya berlanjut kepada bagaimana dirinya menghadapi misteri tersebut.


Twist demi twist disajikan tanpa terlihat terlalu memaksa, dikarenakan segala petunjuk telah disajikan dengan jelas dan rapi oleh sang sutradara Denis Villeneuve. Hingga akhir film, penonton terus dibuat kebingungan dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Efek visual yang diperlihatkan juga tidak kalah menakjubkan. Salah satu yang paling memukau saya adalah efek Hologram pada keseluruhan film. Dalam sebuah film fiksi ilmiah efek hologram merupakan efek yang paling sering ditemui, namun terdapat perbedaan pada efek yang ditampilkan dalam Blade Runner 2049 kali ini. Penyatuan antara hologram dengan makhluk hidup yang berlangsung terus-terusan menambah keindahan dan kerumitan dalam film. Ditambah lagi efek-efek hologram tersebut muncul pada adegan-adegan yang tidak terduga dan adegan dengan gerakan yang cepat.


Di atas semua itu, yang paling saya nikmati dalam film ini adalah momen romansa yang dihadirkan. Tidak sedikit selama kurang lebih dua jam empat puluh menit Blade Runner 2039 menghadirkan adegan romansa antara K dan Joi (Ana De Armas) yang merupakan Hologram wanita pendamping dengan kecerdasan buatan. Setiap adegan terasa nyata dan sensitif, membuat saya berhenti bertanya mengapa Ryan Gosling memainkan peran ini. Kelihaian Ryan dan Ana ini membuat penonton santai dan tersenyum menikmati film ini.


Directed by Denis Villeneuve Produced by Andrew A. Kosove, Broderick Johnson, Bud Yorkin, Cynthia Yorkin Written by Hampton Fancher, Michael Green (screenplay), Hampton Fancher (story), Philip K. Dick (novel, Do Androids Dream of Electric Sheep?) Starring Ryan Gosling, Harrison Ford, Ana de Armas, Sylvia Hoeks, Robin Wright, Mackenzie Davis, Carla Juri, Lennie James, Dave Bautista, Jared Leto, David Dastmalchian, Barkhad Abdi, Hiam Abbass, Wood Harris, Edward James Olmos, Sean Young Music by Hans Zimmer, Benjamin Wallfisch Cinematography Roger Deakins Edited by Joe Walker Production company   Alcon Entertainment/Columbia Pictures/ Scott Free Productions/Torridon Films/16:14 Entertainment/Thunderbird Entertainment Running time 163 minutes Country United States Language English


HAPPY WATCHING THEN

Hari Pengulangan

on Friday, June 22, 2018
Minal Aidin Wal Faidzin. Mohon maaf lahir dan batin.

Apa esensi Hari Raya Eid bagi kalian?

Bermacam-macam. 

Kalau saya, seperti ini.

Selepas Hari Raya Eid, Hari Kemenangan, kita sadar bahwa kita semua memiliki pilihan. Pada hari ini kita diberi tombol ‘reset’ itu, mengulang segala yang buruk, namun yang baik tinggal.

Intinya apa? Kita diberi pilihan untuk menjadi sosok yang dipenuhi dengan hal positif, tinggal kita ingin mengambilnya atau tidak.

Meskipun, dalam kenyataannya hanya dosa-dosa kecil yang dihapuskan pada Hari Raya Eid sedangkan dosa-dosa besar tetap tinggal. Namun, bila pilihan untuk mengubah pribadi itu benar terjadi? Kalian ingin jadi apa?

Kalau saya, menjadi pribadi yang tidak berorientasi pada hubungan yang fungsional. Dimana memberi berarti mengharapkan pemberian balik. Saya lebih memilih merasa kurang menadah daripada kurang meminta. Saya berharap bisa memberikan kapasitas diri saya semaksimal mungkin, tanpa tergoda melintaskan pemikiran akan pembalasan yang diharapkan. Memberi lebih banyak selalu lebih memuaskan daripada meminta lebih banyak.


Semoga kalian memilih yang sama, atau lebih baik lagi. Selamat merayakan Hari Raya Eid.

Imigran #3 - Direkam Oleh Ingatanku : 05 Minggu Mundur

on Friday, August 4, 2017
            “Hei!” Panggil gadis itu.
            Aku tidak menjawab, berpura-pura tidak melihat, seakan-akan terdapat beratus-ratus orang di sini. Tindakan yang bodoh. Apa yang kalian harapkan? Seorang gadis ramping bertelanjang bulat berada di depanku. Terlebih lagi kulitnya putih mulus dan wajahnya indah, rasanya seperti melihat pornografi Jepang atau Korea. Untuk tidak ejakulasi dini seketika saja aku sudah bangga sekali.
            “Hei kamu!” Panggil gadis itu lagi. Kali ini dia sedikit mendekat.
            “Oh? Aku?” Aku menjawab sambil sebelumnya melirik ke sekeliling, mencoba meneruskan kepura-puraanku yang sebelumnya. Mana bisa aku biarkan dia mendekatiku, sudah siaga satu ini namanya.
            Gadis itu terlihat kesal, sepertinya dia menyadari kepura-puraanku. Sungguh sayang, padahal aku bercita-cita menjadi aktor. Meskipun terlihat kesal, matanya masih terlihat tercerahkan dan menunjukkan rasa lega seperti awal kulihat. Apa yang sebenarnya dia lihat dalam diriku? Apapun itu, aku yakin itu berhubungan dengan dompet dan ponsel di kantongku.
            “Ya, kamu. Laki-laki yang terlalu jantan sampai-sampai mengabaikan seorang gadis yang sedang kesulitan.” Dia mengejekku. Untuk ukuran seseorang yang sedang kesulitan, dia cukup bernyali.
            “Kamu terlihat baik-baik saja.” Balasku.
            “Darimananya aku terlihat baik baik saja!” Wow. Dibentak oleh orang asing yang tidak berbusana merupakan sebuah pencapaian. Jika orang asing itu merupakan seorang gadis, maka itu pencapaian yang menyenangkan. Ngomong-ngomong, bagaimana bisa wajahnya terlihat semakin manis dan menggemaskan ketika dia kesal?
            “Kamu bukan gelandangan sakit jiwa kan?” Bukannya aku tidak tahu. Hanya memastikan. Alasan lainnya adalah agar aku dapat mengulur waktu sambil pelan-pelan melangkah menjauh. Aku sudah setengah jalan.
            “Untuk apa aku bersusah payah menutupi tubuhku kalau aku adalah seorang gelandangan sakit jiwa?” Gadis itu masih terlihat sedikit jengkel. Dia memang menutupi tubuhnya. Dan usahanya itu benar-benar tidak memberi hasil apapun. Detail detail kecil berwarna merah muda pada tubuhnya masih jelas terlihat lewat sela-sela tangan kanan dan kirinya yang dia gunakan untuk menutupi bagian privasi atas dan bawahnya.
            “Jangan melihatku!” Dia menyadari lirikanku. Aku benar-benar bukan seorang pengintip yang handal.
            “Singkirkan matamu!” Lanjutnya.
            “Baiklah.” Aku berbalik dan mulai berjalan menjauh. Senang rasanya dapat menjadi orang yang patuh.
            “Hei! Hei, tunggu!” Panggil gadis itu.
            Aku mengabaikannya dan terus berjalan. Lalu aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Aku berbalik dan merentangkan tanganku ke depan. Siaga dua.
            “Hei! Hei! Jangan mendekat!” Ucapku dengan sedikit ketakutan.
            “Makanya jangan menjauh.” Balas gadis itu.
            Aku menghela nafas, ini tidak akan berakhir dengan baik.
            “Baiklah, apa yang kamu inginkan?”
            “Kamu mengenalku kan?” Tanya gadis itu.
            Aku memberikan tatapan penuh tanya. Mengapa pula aku kenal dengan gadis telanjang ini? Demi Tuhan aku berani bersumpah aku belum pernah masuk ke rumah bordir. Kalau ngintip, aku pernah.
            Tidak terlalu yakin dan terkesan dengan tatapanku, gadis itu melanjutkan.
            “Coba kamu ingat-ingat kembali. Mungkin di jalan, di tempat umum, di masa lalu, atau dimanapun. Kamu pasti pernah bertemu denganku.”
            “Mengapa kamu berpikir begitu?” Tanyaku.
            “Karena aku merasa aku mengenalmu.”
            Apa-apaan gadis ini! Dia bahkan terdengar tidak yakin dengan perkataannya barusan! Aku tahu! Dia pasti memang benar-benar gelandangan sakit jiwa, hanya saja tidak terlihat terlalu gelandangan. Saat ini aku sedang dipermainkan olehnya. Ini dia saatnya, aku harus segera pergi dari sini.
            “Kamu bilang jangan mendekat, lalu kenapa malah kamu sendiri yang melangkah mendekat?”
            Aku menundukkan kepalaku, mendapati kaki dan lantai tempat aku berdiri masih berada di posisi yang sama sejak terakhir kali aku melihatnya. Apa yang si sakit jiwa ini bicarakan?
            Saat aku mendongakkan kepalaku kembali, gadis itu telah berada tepat didepanku menerjang ke arahku. Detik berikutnya dia menangkapku dan memelukku dengan sangat erat.
            “Aaaaahhhhh!” Aku berteriak dengan sangat feminim.
            “Katakan apa yang terjadi padaku!” Ucap gadis itu dari bawah daguku.
            “Aku malah ingin menanyakan pertanyaan yang sama!”
            Aku meronta-ronta mencoba untuk melepaskan diri. Gadis itu tidak bergeming sedikitpun, benar-benar tenaga yang luar biasa. Aku mencoba menjatuhkan diriku. Gadis itu tetap tidak bergeming, malah dia memaksa tubuhku berdiri tegak. Dari mana dia bisa bertumpu sekencang itu? Aku yakin tumpuan itu berasal dari dadanya yang sangat besar itu. Hal ini menjelaskan mengapa aku tidak mampu menggerakkan gadis ramping ini. Aku cukup yakin dengan kekuatanku saat ini. Nilai Pendidikan Jasmani dan Kesehatanku 6, tiga tahun yang lalu aku hanya dapat 3. Sebuah peningkatan yang luar biasa bukan?
            “Katakan!” Paksa gadis itu sambil mengencangkan pelukannya. Aku terjebak di antara balada kenikmatan dan kesakitan.
            Bila berat dadanya menghalangiku untuk menggerakkan dirinya, maka senjata pelindung maut masa kecilku akan membuat dirinya menggerakkan dirinya sendiri. Dibekali dengan rasa percaya diri yang tinggi, aku menanduk kepalanya dengan sangat kencang dan sepenuh tenaga. Menggunakan hidungku.
            “Aaaaaaahhhhh!” Kami berdua berteriak dengan sangat feminim.
            Aku tidak mengharapkan dirinya berada sangat dekat denganku sehingga aku berakhir menghantamkan hidungku dan bukan keningku. Kami berdua kesakitan. Gadis itu membenamkan kepalanya di dadaku, dan aku memegangi hidungku dengan kedua tanganku melingkari tubuhnya dan sedikit membenamkan wajahku di rambutnya. Kami berdua terlihat seperti sepasang pasangan yang sangat saling mencintai yang bertemu kembali  setelah bertahun-tahun berpisah. Hanya saja kami tidak saling mencintai dan aku sangat tidak ingin bertemu kembali dengannya.
            Tidak lama berselang, terdengar suara langkah seseorang mendekat dari ujung kolong jembatan. Syukurlah Tuhan masih sayang padaku.
            “Sialan!” Ucap gadis itu. Di luar dugaanku, gadis ini ternyata cukup sigap. Tanpa aku sadari dia sudah setengah jalan membawaku ke balik salah satu bongkahan beton terbesar di sampingku sambil menyekap mulutku.
            Seorang pria muncul dari salah satu ujung kolong jembatan. Dia melangkah mendekati lokasi di mana kami berdiri beberapa saat yang lalu. Kepalanya celingak-celinguk melirik sekeliling mencari sesuatu, tidak mampu menemukan kami yang berada di balik beton yang hanya beberapa meter dari posisinya.
            "Heii! Kau sedang apa dibawaah?" Teriak seorang wanita.
            “Tidak, tidak ada apa-apa! Aku mendengar ada suara teriakan tadi disini, ternyata aku salah. Aku naik sekarang!” Pria itu kembali ke ujung kolong jembatan di mana dia muncul dan naik meninggalkan kolong jembatan. Aku rasa Tuhan tidak terlalu sayang padaku. Aku harus lebih rajin lagi ibadah Sholat lima waktu.
            “Kamu telah berlumur dosa.” Ucapku begitu gadis itu melepaskan tangannya dari mulutku.
            “Apa yang kamu bicarakan?”
            “Kamu menyekapku dan menyeretku kesini, membuatku terhindar dari malaikat penyelamat yang dikirim Tuhan untukku. Menggagalkan seseorang untuk bertemu malaikatnya merupakan dosa yang besar. Aku tidak bisa membayangkan di neraka mana kamu nanti akan ditempatkan.”
            “Berhenti menggumamkan hal yang tidak jelas dan mulailah membantuku.” Gadis itu kembali mengencangkan pelukannya dan merekatkan tubuhnya ke bagian belakang tubuhku.
            “Kamu daritadi memintaku untuk membantumu. Aku sama sekali tidak tahu apa yang dapat aku lakukan untuk membantumu dan aku sama sekali tidak tahu apapun tentangmu.”
            “Kamu pasti tahu sesuatu! Aku tidak ingat apapun. Bahkan aku tidak ingat namaku sendiri. Namun anehnya aku mengingatmu dengan sangat jelas. Kamu pasti ada hubungannya dengan ini semua.”
            “Apa? Kamu tidak ingat apapun? Apa yang terjadi padamu?” Aku sedikit terkejut, membuatku secara tidak sadar menolehkan kepalaku ke belakang.
            Sebuah tangan dengan cepat melayang ke arah wajahku. “Itu yang dari tadi aku tanyakan kepadamu! Kamu pasti akan lebih cepat menangkap perkataaanku bila kamu tidak terus mengoceh dan merengek seperti wanita. Dan berhenti menoleh ke belakang! Aku tidak ingin mata menjijikan itu mengambil kesempatan!”
            “Baiklah! Baiklah! Aku akan berhenti mengoceh dan merengek. Bisakah kamu menjelaskan sesuatu kepadaku sekarang?”
            Gadis itu berhenti berbicara untuk sejenak. Aku bisa merasakan dirinya melirik ke arah kepalaku dan memancarkan aura ketidakpercayaan kepadaku. Aku mendengarnya mengambil nafas panjang lalu kemudian melanjutkan.
            “Aku sudah seperti ini sejak dari lima hari yang lalu. Aku terbangun dalam kondisi seperti ini. Sepertinya aku hanyut dan terdampar disini. Aku masih tidak tahu mengapa aku berada dalam kondisi telanjang seperti ini. Jangan coba mengatakan bahwa aku korban pemerkosaan! Aku sudah mengecek seluruh tubuhku, tidak ada yang lecet dan seluruh lobang masih tersegal sempurna. Aku masih suci seperti baru. Aku juga tidak menemukan ataupun merasakan bekas luka apapun yang kira-kira menjadi penyebab diriku lupa ingatan, jadi aku menyimpulkan bahwa aku tidak menghantam sesuatu ketika hanyut ataupun dipukul sesuatu sebelum hanyut. Sepertinya aku dibuat lupa ingatan dengan semacam trik.”
            Gadis itu kembali diam untuk sejenak, lalu kemudian melanjutkan. Aku ingin mengatakan bahwa tidak adanya lecet di tubuhnya atau masih tersegelnya seluruh lobang sucinya tidak menjamin dia benar-benar tidak diperkosa. Ditelanjangi saja seharusnya sudah termasuk diperkosa. Lalu bukankah sekedar menjilat-jilat atau menggerayangi tubuhnya tidak akan menimbulkan lecet atau bekas apapun? Dan hal itu tentunya sudah tergolang ke dalam pemerkosaan. Masih ingat soal “Yang benar kalau jalan” dengan Paman kemarin?  Aku memang kurang bisa menolelir kesalahan kata dan penginterpretasian seperti ini. Namun aku memutuskan untuk tidak memotong omongannya. Tidak ada alasan khusus, hanya instingku mengatakan aku akan lebih terhindar dari bahaya bila aku diam. Sebuah pencapaian yang luar biasa aku bisa menahan mulut wanitaku diam hingga selama ini.
            “Aku tidak tahu bagaimana rasanya lupa ingatan yang seharusnya, namun lupa ingatan milikku ini begitu aneh. Aku tidak melupakan semuanya. Maksudku, aku tahu berbagai macam hal. Hal-hal seperti pengetahuan-pengetahuan umum, bahkan pengetahuan yang rumit sekalipun. Sebagai contoh, bongkahan beton disini. Melihat dari bentuknya, aku tahu bongkahan beton ini merupakan sisa-sisa dari renovasi jembatan ini, mungkin beberapa tahun yang lalu. Lalu ketika aku melihat bintang di malam hari, aku tahu bagaimana sistem tata surya. Aku tahu satelit alami apa saja yang mengitari planet Neptunus, aku tahu mengapa planet Pluto dikeluarkan dari sistem tata surya. Namun aku tidak tahu siapa sebenarnya diriku dan dari mana aku berasal. Rasanya seperti aku memang tidak memiliki ingatan tentang itu.
            Apa yang dikatakannya semakin serius. Aku bahkan tidak memiliki hasrat untuk memotong pembicaraan lagi.
            “Selama lima hari ini aku sangat ketakutan, aku tidak pernah muncul di depan orang-orang. Aku tidak ingin orang-orang melihat tubuhku dan mengambil kesempatan akan hal ini. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku hanya terus bersembunyi. Hingga akhirnya aku melihatmu. Ada perasaan yang aneh ketika aku melihatmu, perasaan yang seolah mengatakan bahwa kamu merupakan orang yang sangat familiar. Aku benar-benar memastikannya, aku tidak segegabah itu untuk bertindak berdasarkan sesuatu yang tidak pasti. Ketika aku keluar dari balik beton itu, langkah demi langkah aku memastikan. Setiap langkah kedepan adalah sebuah peningkatan level kepastian. Seperti ini.”
            Gadis itu memperagakannya dengan kakinya di lantai di sebelahku sambil tetap mengencangkan pelukannya. Hal itu terlihat sangat sulit dilakukan, namun dia tetap melakukannya. Aku kembali tidak yakin dirinya bukan merupakan gelandangan sakit jiwa.
            “Ingatanku tentang kamu, ini merupakan sesuatu yang lain. Ini bukan seperti ingatanku tentang pengetahuan umum, ingatan ini lebih seperti kenangan. Ingatan ini merupakan sesuatu yang meyakinkanku akan kehidupanku sebelumnya. Ingatanku tentang kamu ini merupakan bukti bahwa aku memiliki kehidupan sebelum semua ini terjadi. Karena itu, kamulah satu-satunya harapanku. Jika kamu tidak membantuku, siapa lagi yang bisa?”
            Siapa lagi? Tentunya bukan aku. Segala yang aku mampu hanyalah membawa dirinya ke lokasi di mana terdapat banyak jajanan Sekolah Dasar dan berharap satu atau dua dari jajanan itu dapat membawa ingatannya kembali. Dia benar-benar menggantungkan harapan pada orang yang salah. Dan sekarang disinilah dia, berdiri tepat di belakangku semakin mengencangkan pelukannya menantikan aku mengatakan satu dua hal kepada dirinya. Apakah ‘Aku ingin kentut sekarang’ akan memuaskan dirinya?”
            “Jadi, ingatanmu mengatakan bahwa aku merupakan orang yang sangat penting untukmu di kehidupanmu sebelumnya, aku merupakan salah satu orang yang mengisi hari-harimu di kehidupanmu sebelumnya, sementara aku sama sekali tidak mengenalmu?”
            “Apakah kamu yakin kamu tidak mengenalku?”
            “Mungkinkah kamu merupakan penggemar rahasiaku?”
            Aku sedikit menoleh ke belakang. Gadis itu terlihat terkejut. Ekspresi wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan. Apakah kesimpulanku begitu brilian baginya?
            “Apakah kamu sudah melihat wajahku?” tanya gadis itu.
            “Sudah. Apakah Kamu belum?”
            “Oh tentu saja sudah. Air disini tetap berfungsi sebagaimana fungsi air yang aku tahu. Dan apakah kamu sadar betapa cantiknya diriku?” Dia memuji dirinya sendiri. Untuk ukuran seseorang yang terhanyut dan terdampar, dia benar-benar cukup angkuh.
            “Tentu saja. Sulit untuk dilewatkan lagipula.”
            “Apakah kamu pikir wajah itu,” dia menunjuk wajahku, “merupakan sesuatu yang akan digemari secara rahasia oleh wajah ini?” Dia menunjuk wajahnya, masih terlihat terpukau. Dia benar-benar tidak mampu menghadapi kesimpulanku ini dengan baik.
            “Hal ini menyimpulkan bahwa aku benar-benar beruntung memiliki gadis sepertimu sebagai penggemar rahasiaku.”
            “Omong kosong!” Dia terdengar sedikit marah. “Aku dapat melangkah keluar sana dan aku akan mendapati berpuluh-puluh pria tampan berlutut memohon cinta kepadaku!”
            “Usaha yang bagus penggemar rahasiaku. Seorang penggemar rahasia tidak boleh membiarkan perasaan cintanya terungkap. Berusaha lah lebih keras lagi, mungkin aku akan jatuh hati kepadamu.”
            “Hentikan omong kosong ini dan mulailah bantu aku!” Dia terdengar lebih marah sekarang. Aku menikmati menggodanya.
            “Ya, tentu. Kamu bisa katakan apa yang harus aku lakukan daripada mengomel dan merengek seperti itu. Kamu terdengar lebih buruk dari diriku sekarang.”
            “Baiklah. Kamu bisa mulai dengan melepaskan pakaianmu.”
            Sekarang giliranku mempertontonkan wajah terkejut.
            “Maaf?” Tanyaku dengan sangat sopan dan ingin tahu.
            “Iya. Lepaskan pakaianmu dan berikan padaku. Kamu pikir sudah berapa hari aku telanjang? Aku sudah tidak tahan lagi.”
            Itu ide yang bagus. Dengan begitu dia tidak akan kedinginan lagi dan aku tidak perlu melakukan zina mata seperti ini lagi. Sudah terlalu banyak dosa yang aku miliki, aku tidak menginginkan tambahan apapun.
            “Baiklah. Bisakah kamu melepaskan pelukanmu? Sangat sulit melakukannya bila kamu tetap memelukku erat seperti ini.”
            “Tentu saja. Itu akan memberikanmu kesempatan untuk lari dariku.”
            “Jangan berkata bodoh. Kamu pikir pria seperti apa aku ini?” Terdapat nada sedikit tersinggung pada perkataanku. Aku rasa aku perlu memberikan batasan pada sejauh mana dia dapat menghinaku.
            “Pria yang menyedihkan.” Jawabnya. Dia melepaskan pelukannya, dan bertepatan dengan itu aku meluncur berlari menjauh. Selamat nyonya, tebakanmu benar sekali.
            Tentu saja dengan memberikan gadis itu pakaianku aku akan tehindar dari kegiatan berzina mata ini. Namun ada cara yang lebih efektif untuk menghindarinya, yaitu dengan pergi dari tempat ini dan menjauh dari gadis itu sejauh mungkin. Inilah yang kita semua para manusia lakukan bukan? Menghindari dosa semampu mungkin.
            Aku terus berlari menjauh dari gadis itu. Aku tidak merasakannya mengejarku dari belakang. Aku juga tidak merasakan dirinya mencoba menahanku saat aku melepaskan diri tadi. Apakah dia benar-benar percaya aku tidak akan lari? Bila itu benar, maka dia merupakan gadis pertama yang benar-benar meletakkan kepercayaannya kepadaku. Terpesona akan fakta itu, aku menghentikan langkahku tepat di ujung kolong jembatan, bersiap-siap untuk kembali. Tentunya tidak akan begitu sulit bagi penggemar rahasiaku untuk memafkan kesalahan kecilku.
            Aku memutar tubuhku dan merasakan rasa sakit yang mendadak di kepalaku. Sebuah batu kecil melayang tepat ke keningku. Seperti yang kita semua tahu, tentu saja batu itu berasal dari tangan bertenaga hewan buas milik gadis itu. Tampaknya dia tidak sepercaya itu kepadaku. Aku seharusnya tidak berhenti berlari. Sekali lagi aku mengeluarkan sebuah teriakan yang luar biasa feminim.
            “Kembali kepadaku.” Perintah gadis itu dengan dingin.
            “Aku memang ingin kembali kepadamu kamu tahu.” Aku masih menggelinding di lantai, meringgis kesakitan tidak berdaya.
            “Hentikan bualanmu manusia sampah. Kembali saja kemari. Dengan MUNDUR. Aku tidak ingin melihat wajah menjijikkanmu itu.” Dia menekankan perkataanya di akhir kalimat, lebih terdengar seperti ultimatum.
            Aku bangkit dan berjalan mundur kembali kepadanya sambil terus memegangi kepalaku. Yang perlu aku lakukan saat ini hanyalah berlari lurus ke depan dan aku akan terbebas dari siksaan ini, namun ultimatum dari gadis ini benar-benar menyingkirkan keberanianku untuk melakukannya. Saat aku sampai di depannya, aku bahkan sudah tidak memiliki nyali lagi untuk bertindak aneh.
            “Lakukan tugasmu.” Perintah gadis itu kembali dengan dingin.
            “Aku benar-benar berniat kembali kepadamu.” Gumamku dengan cukup kecil. Gadis itu mendengarnya namun tidak berkata apapun. Seperti yang diharapkan dari orang yang benar-benar muak akan sesuatu.
            Aku melepaskan jaketku dan kemeja sekolahku, lalu hendak melepaskan kaos dalamku untuk kuberikan padanya. Semua kulakukan dengan masih membelakangi dirinya.
            “Apa yang kamu lakukan? Aku tidak ingin kaos dalammu. Kaos dalammu pasti bau dan basah oleh keringat. Aku tidak ingin pakaian yang kupakai setelah lima hari telanjang adalah pakaian yang basah dan bau. Berikan aku kemeja dan jaketmu.”
            Gadis ini benar-benar merupakan pencerminan dari manusia tidak tahu terima kasih. Keberanianku bahkan menjadi muncul kembali.
            “Celana boxermu juga.” Aku melihat celana boxerku, bagian atasnya sedikit muncul dari balik celana sekolahku. Tanpa aku sadari aku memberikan kemudahan bagi gadis itu untuk melihatnya lewat tindakanku dalam hampir membuka kaos dalam tadi. Sungguh kecerobohan yang berujung petaka.
            Aku sedikit memutar kepalaku sambil memperlihatkan wajah memelasku. Aku tentu tidak ingin melakukan kontak mata dengan gadis itu.
            “Kamu ingin membiarkanku hanya memakai kemeja dan jaketmu tanpa memakai celana? Apakah itu ada bedanya dengan telanjang?”
            “Hal ini tidak semudah itu. Bila aku ingin memberikanmu celana boxerku, maka aku harus telanjang.”
            “Apakah kamu sadar kamu baru saja menanyakan hal itu kepada orang yang telanjang?”
            Tentu saja wajah memelasku tidak akan menghasilkan apapun, terlebih lagi bila aku telah dilabeli sampah dan menjijikkan. Aku menatap lurus ke depan, tepat ke cahaya yang bersinar dari ujung kolong jembatan, bersiap-siap untuk melarikan diri secepat kilat.
            “Lupakan saja. Aku pikir aku akan melepaskannya sendiri darimu. Aku dapat menjatuhkanmu dan menggulatimu dan mendudukimu di bawah. Aku cukup yakin kamu tidak bisa mengangkatku mengingat beberapa saat yang lalu menggeserku saja kamu tidak mampu.”
            Diingatkan akan ingatan yang tidak menyenangkan itu membuatku bergerak secara spontan. Aku membuka celana sekolahku lalu membuka celana boxerku. Semuanya kulakukan masih dengan membelakangi gadis itu. Aku sebenarnya ingin melakukannya sambil menghadap dirinya, namun aku terlalu malu untuk melihatnya. Alasan terutamanya adalah aku takut dia menjadi kesal denganku dan memutuskan untuk menghabisiku setengah telanjang.
            “Terkutuklah dada besarmu itu.” Aku menyodorkan celana boxerku kepadanya setelah aku memasang kembali celana sekolahku.
            “Oh kamu tidak suka? Aku cukup bangga akan hal ini kamu tahu.” Dia memegangi bagian bawah kedua dada besarnya dengan sangat menggoda di depanku. Dia telah mengenakan kemeja sekolahku sekarang sehingga aku diperbolehkan untuk melihatnya.
            Gadis itu mengambil celana boxer yang kusodorkan kepadanya.
            “Baiklah. Tunggu sebentar. Dan berbaliklah, jangan melihat.” Belum sampai satu menit, regulasi boleh melihat – tidak boleh melihat ini sudah berubah kembali. Benar-benar gadis yang penuh kejutan.
            Aku mendengar beberapa suara dari balik punggungku. Dia terdengar seperti sedang memodifikasi pakaian yang kuberikan kepadanya. Aku harap pakaianku masih tetap utuh.
            “Aku sudah selesai. Kamu boleh melihat sekarang.”
            Aku membalikkan tubuhku. Aku melihat gadis itu memakai kemeja sekolah dan celana boxerku dengan jaketku diikatkan di pinggangnya. Dia terlihat seperti anak SMA yang sehabis latihan tari. Aku tidak terlalu mengerti bagaimana dia melakukannya, tapi seluruh pakaianku tadi dimodifikasi hingga terlihat sangat cocok dengannya. Aku bersyukur pakaianku masih tetap utuh.
            "Wah sekarang malah kamu yang kelihatan gembel ya."
            Aku menunduk menjelajahi penampilanku saat ini. Aku hanya memakai kaos dalam dan celana panjang sekolah, terlihat cukup gembel. Berbagi benar-benar tidak pernah indah.
            “Baiklah. Kalau begitu, ayo.”
            “Ayo apanya?” Aku bertanya dengan penuh ke-was-was-an.
            “Ayo kerumahmu.” Dia menjawab seolah-olah itu hal yang paling masuk akal. “Aku tentu saja harus tahu dimana rumahmu agar bisa menemuimu setiap saat. Dan kamu juga harus mengambilkanku beberapa pasang pakaian, aku tidak mau menghabiskan hidupku dengan hanya memakai satu pasang pakaian.”
            Bertemu dengannya setiap saat adalah hal terakhir yang aku inginkan saat ini. Terlebih lagi, memberi tahunya tempat tinggalku? Betapa sempurnanya hal itu. Aku tidak akan pernah bisa tidur di malam hari. Khawatir akan dirinya berada di bawah kolong tempat tidurku bersiap untuk melempari kepalaku dengan batu dari jarak sedekat mungkin.
            Aku memutar tubuhku dan meluncur dengan cepat ke arah ujung kolong jembatan. Sebuah tangan menggenggam lenganku lalu menarikku kembali ke posisiku semula dengan mudahnya. Benar-benar sedikit yang bisa kamu lakukan bila lawanmu bukan manusia.
            Gadis itu mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Kedua tangannya menyentuh kedua sisi wajahku dengan sangat kuat.
            “Aku tidak akan melakukan apa-apa. Aku janji.” Ucapnya dengan lembut dan penuh determinasi.
            Aku menyentuh wajahnya, menarik pipinya sejauh mungkin lalu melepaskannya. Dia benar-benar terasa seperti manusia. Aku sekali lagi memutar tubuhku dan meluncur dengan sekuat tenaga.
            Tangannya yang masih menyentuh wajahku menarik kepalaku dengan sangat kasar. Terasa seperti dirinya dapat melepas kepalaku kapanpun dirinya mau.
            “Hentikan hal ini! Dengar. Aku minta maaf soal perlakuanku sebelumnya. Aku benar-benar tidak akan melakukan apapun. Kamu adalah satu-satunya harapanku, mengapa pula aku harus mencelakakanmu?”
            Segala perkataannya diucapkannya dengan sangat lembuh dan meyakinkan. Aku terus meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Aku tidak akan termakan apapun perkataannya lagi.
            “Baiklah, siapa namamu?” Tanyanya.
            Aku sejenak berhenti, sedikit terpelatuk akan perkataannya. Mengapa pula dia menanyakan namaku?
            “Andri.” Jawabku.
            “Andri.” Dia mengelus lembut benjolan di kepalaku. “Aku benci harus melihatmu menderita karena diriku. Tapi Andri, ini demi hidup dan matiku. Hidupku bergantung pada dirimu sekarang.” Dia mengelus lebih lembut benjolanku. “Dan aku berjanji ini merupakan terakhir kali aku melukaimu.”
            “Hanya mengambil beberapa pasang pakaian lalu kita kembali. Bisa kah Andri?” Dia memberiku tatapan penuh belas kasih dan harapan.
            “Apa kamu sebegitu putus asanya untuk mendapatkan beberapa pasang pakaian?”
            “Aku sebegitu putus asanya untuk tidak lepas dari dirimu.”
            Apa kamu pernah melihat monster ular berdada raksasa? Aku baru saja bertemu satu tepat didepanku.
            “Baiklah. Kita ambil beberapa pasang pakaian lalu kita kembali.” Aku mengucapkannya sambil memejamkan mata, tidak percaya bahwa aku termakan oleh bisikan si monster ular ini lagi. Apa yang bisa kulakukan? Aku tidak pernah digoda sejauh ini oleh seorang wanita.
            Gadis itu menari kegirangan sambil melihatku dengan wajah anak anjing yang sedang bahagia. Terlihat sangat menggemaskan. Aku mungkin akan jatuh hati seketika bila aku tidak mengetahui teror yang dibawa bersama wajah menggemaskannya itu. Aku paham, dia bukan monster ular berdada raksasa. Dia monster ular berkepala anak anjing dan berdada raksasa. Monster paling mengerikan yang pernah terbayangkan olehku.
            “Kalau begitu ayo bergegas. Dimana kamu memarkirkan kendaraanmu?” Gadis itu masih bersusah payah meredakan kegirangannya.
            “Apa yang kamu bicarakan?”
            “Jika kamu memakai jaket , artinya kamu menaiki suatu kendaraan. Sebuah sepeda motor mungkin. Di mana kamu parkirkan?” Dia masih terlihat girang. Aku mulai merasakan hal buruk.
            “Aku memang memakai jaket, tapi aku tidak menaiki kendaraan.” Jawabku dengan seterus-terang mungkin.
            “Jadi bagaimana kamu pergi ke sekolah? Kamu berteleportasi?”
            “Aku berjalan kaki.”
            “Katakan bagaimana kamu berteleportasi.”
            “Aku berjalan kaki.”
            “Bisakah kamu membawa seseorang saat kamu berteleportasi?”
            “Sekali lagi. Aku berjalan kaki.” Hal ini mulai mengesalkanku.
            Gadis itu mulai jongkok dan membenamkan kepalanya pada kedua kakinya. Aku tidak terlalu paham mengapa dia tiba-tiba melakukan itu.
            “Aaaah kenapa aku harus terjebak bersama laki-laki pecundang sepertimuu?” Rengek gadis itu seperti bocah. Beberapa saat yang lalu dia mendamba-dambakan ingin bersamaku. Sekarang dia menangisi kehadiranku dalam hidupnya. Benar-benar seorang monster.
            “Aku setuju denganmu soal itu. Mengapa aku harus terjebak bersamamu.”
            “Saat aku melihatmu duduk di kolong jembatan ini, kamu bersama jaketmu terlihat seperti seorang pengendara sepeda motor yang berhenti sejenak untuk beristirahat. Siap untuk kembali kepada sepeda motormu bila urusanmu selesai atau keaadaan memburuk. Aku membayangkan dirimu adalah salah satu dari para pengendara motor keren yang sering melakukan hal-hal keren itu. Rasanya sangat menyebalkan mengetahui bahwa kamu hanyalah seorang pecundang yang berjalan jauh dengan memakai jaket hanya untuk duduk di kolong jembatan. Orang bodoh seperti apa yang melakukan itu?”
            “Orang bodoh seperti diriku. Menjijikan dan tidak berguna. Tidakkah kamu sadar bahwa kamu sudah cukup kelewatan?” Hebat. Mendadak kami berargumen dengan penuh emosi mengenai pentingnya sebuah jaket terhadap persepsi seseorang. Seolah-olah hal ini merupakan hal yang terpenting di dunia saat ini. Dan gadis ini tidak mau berhenti.
            “Aku telah membayangkan aku mengendarai sepeda motor bersamamu. Melewati kerumunan-kerumunan orang dengan tidak menarik perhatian. Sampai di tempat tujuan dalam hitungan menit tanpa ada gangguan. Bukan malah berjalan kaki menjadi tontonan orang-orang selama berjam-jam perjalanan. Kamu benar-benar mengecewakanku.”
            “Aku akan berangkat sekarang. Bila kamu ingin merengek seharian silahkan saja, bukan urusanku.” Aku mulai melangkah ke salah satu ujung kolong jembatan.
            Gadis itu berdiri dari posisi jongkoknya.
            “Berhentilah berpura-pura bersikap congkak.”
            “Apa maksudmu?”
            “Jika kamu sampai bersusah payah berjalan jauh kesini hanya untuk menemukan tempat bermain dan berisitirahat, itu artinya kamu merupakan orang yang tersingkir dari lingkungan rumahmu. Melihat kamu juga berada di sini sendirian, dapat disimpulkan bahwa kamu merupakan orang yang tidak memiliki teman. Aku yakin jauh di dalam hatimu kamu senang berjalan pulang bersamaku, membuatmu tidak merasa kesepian. Dan kamu hanya berpura-pura bersikap congkak untuk menutupi rasa senangmu. Bila tahu begini, aku tidak akan membuat janji-janji menyebalkan tadi kepadamu.”
            “Jauh di dalam hatiku, aku ingin lebih sendirian lagi.” Balasku dingin. Aku terus berjalan tidak memperdulikan ocehan dari gadis itu.
            Melihatku tidak terkesan dengan segala ocehan dan analisisnya, gadis itu mulai berjalan mengikutiku. Dari suara langkah kakinya, aku sangat yakin dirinya cukup kesal. Tidak semudah itu mempesonaku dengan ocehan. Dirinya harus berusaha lebih keras lagi.
            “Huh kalau tahu begini aku seharusnya meminta sepatumu juga.”
            Aku menoleh ke belakang. Kaki mungil gadis itu benar-benar penuh dengan luka dan memar. Pasti dia sudah banyak berjalan selama lima hari ini. Aku akhirnya mengerti alasannya sangat mempermasalahkan diriku yang tidak mengendarai kendaraan. Berjalan dengan kaki seperti itu menuju rumahku tentu akan menambah penderitaannya.
            “Kamu mau memakai sepatuku?” Tanyaku.
            “Tidak. Kita akan terlihat lebih aneh bila kamu yang tidak memakai sepatu. Lagipula rumahmu tidak terlalu jauh kan?”
            “Benar. Tidak jauh. Dan aku memaksa.” Aku mulai membuka sepatuku.
            “Aku juga. Tidak terlihat mencolok adalah kuncinya.” Dia meletakkan tangannya di atas tanganku, menghentikanku membuka sepatuku.
            “Kecuali kamu bersikeras untuk menggendongku. Aku pikir aku akan dapat menyingkirkan egoku untuk sesaat. Bagaimana bisa aku tega menolak kebaikan seseorang?”
            Aku melanjutkan langkahku dan mengabaikan dirinya. Bodohnya diriku membuang waktu untuk memperdulikan gadis ini.
            Kami berdua akhirnya meninggalkan kolong jembatan. Gadis itu berjalan di sampingku, sedikit menempelkan bahunya, menunjukkan bahwa dirinya masih takut dengan keadaan sekitarnya.
            Di bawah sinar mentari petang itu aku berjalan membawa sebuah bencana yang baru. Aku tentunya akan menandai hari ini di kalenderku. Sebuah lingkaran. Dengan tinta merah. Dengan dua buah lingkaran kecil di dalamnya. Dan dua buah tulang menyilanginya.

Imigran #2 - Direkam Oleh Ingatanku : 05 Minggu Mundur

on Wednesday, August 2, 2017
            “Yang benar kalau jalan!” ujar Paman yang barusan hampir menabrakku.
            “Sini tunjukin gimana jalan yang benar!” balasku. Tentu saja dalam hati, mana berani aku terang-terangan.
            Setiap orang yang berlagak hebat di muka bumi ini menurutku adalah orang bodoh. Paman tadi sebagai contoh. “Yang benar kalau jalan.”? Konyol. Bagaimana bisa sesuatu dikatakan tidak benar bila ternyata berfungsi? Aku berjalan, teknik berjalanku berfungsi. Jadi mananya yang tidak benar? Aku hanya berjalan sedikit ke tengah, menghindari genangan air, hujan sering turun akhir-akhir ini. Hey, itu merupakan tindakan yang mulia. Menghindari sepatu sekolahku kotor, membuat ibuku lebih mudah mencucinya. Tidak terbayangkan betapa banyaknya pahala yang aku dapat dari melakukan ini. Aku hanya tidak melihat kebelakang terlebih dahulu sebelum melakukannya.  Bukan masalah besar.
            Paman tadi merupakan orang yang bodoh. Dia menggunakan kata-kata yang salah. Bila dia mengucapkan “Hati-hati kalau jalan,” mungkin aku akan lebih terhenyuk. Aku mungkin akan bertaubat dan bersumpah kepada diriku sendiri untuk tidak pernah meninggalkan kehati-hatian ketika berjalan, menjadi pejalan kaki yang bijaksana, bukannya malah memaki dia dalam hati seperti tadi. Perubahan merupakan hal yang sulit didapatkan dariku, Paman itu seharusnya bangga. Tapi dia tidak, karena apa? Karena dia orang yang belagak hebat, dan menggunakan kata-kata yang salah, dan bodoh. Orang-orang seperti ini cenderung membuka apa yang ada dalam diri mereka, sehingga mereka muncul dan terpandang dalam kehidupan sosial, sehingga mereka bisa bersosialisasi secara nyata, sehingga orang-orang bisa tahu apa dan siapa mereka (termasuk yang dirahasiakan), bahkan mereka yang tidak perlu tahu. Aksi yang dilakukan Paman tadi memberi tahuku dua hal, betapa garangnya dia dan betapa minimnya isi otaknya (yang dia rahasiakan). Dasar bodoh.
            Aku? Oh aku memperhitungkan diriku sebagai orang yang pintar, terlepas dari nilai rata-rata rapotku yang 5,5 (Nilai Bahasa Indonesia dan Prakaryaku 7,5!). Aku merupakan orang yang pintar karena aku tidak berlagak hebat dan menyimpan hal-halku dalam diriku sendiri. Untuk apa menang di luar bila di dalam diri kita tidak. Aku selalu menang di dalam diriku. Dengan Paman tadi? Aku menang. Seperti tadi, aku memakinya dalam diriku. Dia tidak tahu, aku menang kan? “Dasar tua-tua keladi!” Dia tidak datang kembali dan memakiku balik. Lihat? Aku menang. Mengganggap pemiikiranku aneh? Baguslah. Ini telah membuatku bertahan hidup hingga sejauh ini. Aku tidak ingin membaginya, tidak akan semudah itu bertahan hidup bila orang sudah tahu caramu. “Paman tua bangka!” Kemenangan telak.
            Setiap cara hidup memiliki titik bencanannya, situasi dan lokasi dimana cara hidup ini tidak efisien. Dalam caraku, situasi itu adalah dimana distraksi dari luar menggebu-gebu tanpa henti tidak memberikan kesempatan kepada kesadaran di dalam diriku untuk memenangkan situasi. Dalam caraku, lokasi itu dirumahku. Lokasi dimana aku menghabiskan waktuku hampir setiap hari seumur hidupku. Bukan aku tidak memiliki tempat lain untuk mengabiskan waktu, hanya saja hidup di tengah-tengah bencana terlihat sangat jantan. Akan banyak wanita yang jatuh hati bila mereka tahu hal ini.
            Aku membuka sepatu sekolahku dan masuk ke dalam rumah.
            “Assalamualaikum,” pintaku.
            “Anakkuu, anakku sudah pulang ternyata.” Oh bencanaku yang indah.
            Aku masuk ke dalam kamarku dan menutup pintu kamarku.
            “Kalau orang tua nyambut tuh di jawab!” Teriak suara yang sama dengan suara yang tadi.
            "Ya aku harus jawab apa!? Ibu kan ngomong gitu setiap hari! Memangnya ibu kalau masuk Indomaret menjawab sambutan mbak-mbak kasirnya!?" Ada yang bilang ketika bencana menghampiri, keluarkanlah segala yang kamu mampu. Terpujilah orang tersebut atas pencerahannya.
            “Bagus! Menjawab saja terus!”
            “Salah Ibu sendiri meneriaki makhluk tidak berdosa!”
            “Memang kamu lah anak paling benar di dunia ini!”
            “Amin!”
            “Bagus! Menjawab saja terus!”
            Aku berhenti membalasnya, Ibuku memutuskan untuk berhenti juga. Aku beruntung kali ini cukup singkat, bencana seperti ini biasanya berlangsung berjam-jam.
            Kamarku yang berukuran dua tempat tidur lebar, dua lemari dan dua meja belajar merupakan ruang kerja yang paling ideal bagiku. Ada apa? Bingung dengan ukurannya? Lebih jelasnya bila tempat tidur lebarku ada dua (tempat tidur lebarku hanya satu), lemariku ada tiga (lemariku hanya lemari baju dan lemari buku, aku butuh satu lemari lagi untuk menyimpan koleksi rahasiaku, aku harap ibu secepatnya pergi berbelanja, dia selalu kembali dengan barang-barang tidak berguna, minggu lalu kursi goyang, mungkin berikutnya lemari) dan meja belajarku ada dua (tentu saja meja belajarku satu, dan itu sedikit berdebu, hanya beberapa sarang laba-laba dan debu setebal tiga milimeter, benar-benar hampir tidak terlihat berdebu), lalu semuanya ditumpukkan seperti permainan tetris, maka terbentuklah kamarku. Semudah itu untuk dipahami, tidak perlu kesulitan menghapal ukurannya dengan angka dan satuan ukur. Apakah aku lupa mengatakan kalau nilai matematikaku 4,5?
            Oh dan tentu saja aku bekerja. Aku bukan seorang pemalas. Pekerjaanku merupakan pekerjaan yang sangat sedikit orang di muka bumi ini bisa melakukannya. Aku merupakan seorang penjelajah. Bahkan lebih hebat lagi, aku penjelajah di tempat. Jalan di tempat adalah aktivitas berjalan namun tetap di tempat, penjelajah di tempat adalah aktivitas menjelajah namun tetap di tempat. Dengan pikiranku, aku dapat menjelajah ke segala tempat, melakukan segala hal, berada di tempat yang tidak terjangkau, atau bahkan yang belum pernah ada sekalipun. Tidak hanya itu, aku juga mampu menjelajah ke dunia lain, salah satu yang sering kujelajahi adalah dunia maya, dan masih dalam posisi tetap di tempat. Sekarang coba sebutkan seseorang yang kalian kenal yang bisa melakukan hal ini? Benar, tidak ada. Sekarang kalian paham kan betapa sulitnya pekerjaanku. Sebutan orang-orang untuk pekerjaanku adalah “berkhayal”. Terdengar bodoh, aku tidak terlalu memperdulikannya. Aku yakin mereka hanya iri karena tidak dapat melakukannya. Dan aku sangat hebat melakukannya bila berada di ruang kerjaku. Akhirnya aku mengerti mengapa kata “ruang kerja” diciptakan.
            Aku melihat jam dinding di kamarku. Pukul 2 siang. Adzan Zuhur sudah lama terdengar saat aku pulang sekolah tadi. Bencana mungkin akan datang tidak lama lagi. Pertolongan pertama pasca bencana telah lama diciptakan. Pertolongan pertama pra bencana belum pernah diciptakan. Aku, Andri Raha, dengan ini mematenkan karyaku, “Pertolongan Pertama Pra Bencana”.
PERTOLONGAN PERTAMA PRA BENCANA
  1. Bergegaslah berganti pakaian.
  2. Letakkanlah perlengkapan sekolah kembali pada tempatnya.
  3. Laksanakanlah ibadah sholat lima waktu.
  4. Duduklah didepan meja belajar.
  5. Serakkan seluruh buku yang terlihat penting dalam keaadan terbuka di meja belajar (tidak perlu terlalu mempermasalahkan debunya).
  6. Genggam alat tulis dengan tangan kanan, penghapus dengan tangan kiri, tidak lupa juga sangkutkan alat tulis lain di telinga kanan dan kiri.
  7. Bernafas dengan tenang (opsional).
  8. Letakkan kepala diatas tumpukan buku dan tidur (opsional).
  9. Minum obat tidur (sangat opsional).
  10. Beranikanlah dirimu.
            Beberapa hari yang lalu aku melakukan setiap hal yang ada dalam daftar tersebut, namun bencana tetap menghampiriku. Jangan salahkan aku. Tidak semudah itu untuk menjadi seorang penemu. Hari ini, aku juga melakukan setiap hal dalam daftar ini. Menurutmu hari ini akan berakhir sama? Tidak juga. Aku bukanlah orang yang tidak belajar dari kesalahan. Oleh karena itu, apa yang aku genggam di tangan kiriku bukanlah penghapus, melainkan ponselku.
            Ibuku membuka pintu kamar, mengintipkan kepalanya melihatku.
            “Bagus! Gak sholat-sholat ya kamu!” rewel ibuku.
            Aku memberikan tatapan penuh tanya, “Sudah daritadi.”
            “Terus? Enggak belajar?” lanjutnya.
            “Ini memangnya lagi ngapain?”
            Aku memang sedang belajar. Aku merupakan seorang pelajar yang giat, aku tidak pernah tidak mengerjakan PR-ku. Hanya saja, aku tidak pernah menjawab dengan benar. Menurutku itu ada hubungannya dengan keahlianku dalam pekerjaanku, menjelajah. Aku menjelajahi segala jawaban yang ada, mencoba menjawab dengan jawaban yang belum pernah ada sebelumnya. Menjawab sebuah pertanyaan dengan jawaban yang belum pernah diitemukan oleh umat manusia akan terlihat sangat mengagumkan, hanya saja guruku belum siap menerima sebuah perubahan.
            “Main handphone,” jawab ibuku sambil menganggukkan kepalanya ke arah ponselku.
            Aku menggelengkan kepalaku, “Aku sedang mendalami sebuah pesan pencerahan. Mencoba menjadi seorang anak yang berbakti.”
            Aku menyalakan ponselku, memutar rekaman yang aku tunggu-tunggu untuk putar sedari tadi.
            “Kalau kamu Andri ingin membahagiakan Ibu, cuma satu hal yang Ibu minta. Sholat lah kamu lima waktu Andri, jangan ada yang tinggal. Cuma itu yang Ibu minta dari kamu, enggak perlu lagi yang lain-lain. Kamu lakukan itu, udah puas kali Ibu.”
            Rekaman itu cukup panjang, namun baik aku dan ibu mendengarkannya hingga selesai. Aku dengan wajah penuh kemenanganku, Ibu dengan wajahnya ketika dia melihat tagihan air.
            “Bagaimana? Aku sudah cukup menjadi anak yang berbakti kan? Apa aku dapat penghargaan sekarang?”
            “Sholat itu kan kewajibanmu. Tanpa perlu ibu ngomong begitu juga memang sudah harus kamu laksanakan.”
            Aku menyalakan ponselku kembali dan memutar rekaman kedua.
            “Kalau kamu Andri ingin membahagiakan Ibu, cuma satu hal yang Ibu minta. Belajarlah kamu yang giat Andri, jangan banyak main-main. Cuma itu yang Ibu minta dari kamu, enggak perlu lagi yang lain-lain. Kamu lakukan itu, udah puas kali Ibu.”
            “Wow dua permohonan sudah dipenuhi oleh anak yang berbakti ini. Aku benar-benar sudah harus dapat penghargaan saat ini.”
            “Kamu ya Andri! Bisa-bisanya kamu mempermainkan Ibumu! Terus kalo kamu udah sholat, udah belajar, kamu bisa santai? Kamu enggak perlu bantu-bantu dirumah?” Ibuku mulai melampiaskan kekesalannya. Aku tidak suka ini.
            “Ibu, jadi ibu mau aku melakukan yang mana? Sholat, belajar, atau bantu-bantu dirumah? Aku enggak bisa melakukan semuanya sekaligus.”
            “Bukan itu yang Ibu maksud! Ibu enggak ada nyuruh kamu melakukan semuanya.”
            “Ibu! Ibu baru saja bilang seperti itu! Kalau sudah sholat, belajar, jangan kira bisa santai. Jangan kira enggak perlu bantu-bantu dirumah. Itu artinya aku harus kerjakan semuanya! Ibu, bagaimana bisa aku santai kalau dari pagi sampai malam aku belajar terus? Misalkan aku potong-potong waktu belajarku, ilmu apa yang aku dapat? Ngantuk? Enggak perlu belajar juga aku sudah ahli. Dan pekerjaan rumah macam apa yang bisa aku kerjakan dengan waktu yang setengah-setengah? Cukup katakan saja Ibu mau aku melakukan yang mana. Ayolah Bu, jadilah rasional.”
            “Kamu enggak bisa ya enggak melawan Ibu terus!?”
            Ibuku kemudian melanjutkan omelannya selama berjam-jam meskipun aku sudah diam dan tidak membalasnya lagi. Benar-benar bencana yang tangguh. Nampaknya perjalananku dalam menjadi penemu “Pertolongan Pertama Pra Bencana” masih harus menempuh jalan yang panjang. Aku mengambil opsi terakhir, meminum obat tidur, berusaha kabur dari bencana yang terus mengejarku.

            Kemarin sore aku bangun tepat saat ayah pulang ke rumah. Ibu mulai mengomel mengenai Ayah akan sesuatu yang tidak perlu dipermasalahkan, bahkan sebelum Ayah masuk ke dalam rumah. Aku yang sedang menikmati cemilan sore di meja makan bersama Ibu secara tidak sadar membela Ayah atas kesalahannya yang bahkan dia tidak tahu pernah dilakukannya. Ibu, bencanaku yang tidak terkalahkan, seperti biasanya tidak suka bila omongannya ditentang. Jadi dia balik memarahiku. Ayah masuk ke dalam rumah, terlihat tidak bersalah – yang mana memang dia tidak bersalah, menghampiri kami dan bertanya apa yang terjadi. Ibuku mengadu dengan membabi buta mengenai hal-hal yang tidak kulakukan dengan fantasinya yang di luar batas. Mendengar pengakuan dari Ibu, Ayah dengan senang hati menawarkan bantuannya untuk ambil bagian mengomeliku. Betapa sebuah cara yang indah untuk mengucapkan terima kasih.
            Dan sekarang disinilah aku, berada di kendaraan umum, dalam perjalanan pulang dari sekolah mencoba untuk mengulangi hari yang sama. Untuk ukuran seseorang yang selalu ditimpa bencana setiap hari, aku benar-benar tidak belajar banyak. Bagaimanapun juga, menghadapi bencana setiap hari tidak terlalu sehat. Aku setuju. Aku meminta supir untuk menepikan kendaraan.
            Aku turun tidak di lokasi di mana aku biasanya turun saat aku hendak pulang ke rumah ketika pulang sekolah. Aku turun sedikit lebih jauh, di tempat yang lebih tidak berpenduduk. Tidak berpenduduk berarti tidak ada rumah-rumah disekitar, tidak ada kedai untuk berteduh. Benar-benar pilihan lokasi turun terbaik di tengah sinar matahari terik ini. Inilah hasil dari bertindak sesuai nurani. Beruntung aku memakai jaket.
            Aku menyusuri jalanan sempit bergelombang tepat di belakang lokasi turunku dengan tenang. Bahkan tidak jalanan sepi dengan belukar mencurigakan di kiri dan kanan seperti ini dapat membuatku panik. Alasan lainnya adalah karena aku sudah sering berada di sini sedari aku kecil. Ini adalah lokasi bermainku, lokasiku bermain seorang diri. Untuk ukuran anak yang tidak memiliki teman, aku cukup liar dalam hal mencari tempat bermain. Bagaimana bisa tidak bila seluruh tempat bermain di sekitar rumahmu telah disabotase oleh anak-anak yang tidak ingin bermain denganmu?
            Keuntungan dari sering bermain di sini sedari kecil adalah aku tahu tepat kemana aku menuju, dan aku tahu tepat di mana tempat yang paling menyenangkan untuk menghabiskan waktu. Dan ngomong-ngomong, apa yang aku maksud dengan “menghabiskan waktu” adalah benar-benar menghabiskan waktu.
            Aku telah sampai di tempat menghabiskan waktuku. Dan seperti yang aku duga, di tempat ini sangat terlindungi dari sinar matahari. Bagaimana bisa tidak bila beton setebal dua meter menggantung tepat di atasmu hingga beberapa meter ke depan. Aku duduk di tepi dinding dalam parit di bawah jembatan ini. Ironi sekali diriku dulu berjalan jauh hanya untuk duduk di kolong jembatan seperti ini. Biasanya aku duduk di sini sambil menyaksikan anak-anak sekitar bermain sepak bola di tanah lapang di bawah. Jangan salah, aku tidak ikut bermain karena aku menolak. Bangku penonton yang berada 2 meter di atas kepala mereka ini terlalu sayang untuk di tinggalkan demi berlumpur-lumpuran dan berjatuh-jatuhan di bawah. Namun alasan terutamaku adalah aku tidak ingin beresiko menjadi orang yang menendang bola masuk ke dalam sungai di sebelahnya. Sudah cukup aku dibuang oleh lingkungan sebelah, tidak perlu disini juga. Lebih terutama lagi adalah karena mereka hanya mengajakku sekali.
            Meskipun kolong jembatan ini terlihat mirip sekali dengan parit kolong jembatan terbengkalai di permainan GTA, namun tempat ini sangat bersih. Hadirnya anak-anak sekitar yang memakai tempat ini untuk bermain bola membantu membuat tempat ini terlihat bersih. Alasan terutamanya adalah karena ada Bapak-Bapak – yang selalu menjadi wasit di pertandingan sepak bola mereka – yang rewel memerintahkan para anak untuk membersihkan sampah yang ada di kolong jembatan, bahkan termasuk aku, sang penonton yang tidak berdosa.
            Namun semenjak tempat ini direnovasi dan tanah lapang di bawah dibuat menjadi drainase, aku tidak pernah lagi melihat anak-anak tersebut berada di sini. Kolong jembatan ini sekarang sama terbengkalainya dengan kolong-kolong jembatan lainnya dengan beton-beton sisa kontruksi yang ditumpuk di bagian dalam kolong jembatan yang merusak keindahan tempat yang dulu aku kagumi ini. Akibatnya sekarang aku harus membersihkan sampah-sampah yang ada disini seorang diri. Sebuah pembayaran untuk mendapatkan sebuah ruang privasi, setidaknya keheningan dan kenyamanan dari tempat ini masih tidak hilang. Bila kamarku merupakan ruang kerjaku, maka ketika aku berada di kamar itu aku akan bekerja, bukan beristirahat. Oleh karena itu dengan bangga aku perkenalkan, ruang istirahatku, kolong jembatan.
            Aku terus mendengarkan suara gemuruh kendaraan dari atas jembatan selama berjam-jam. Tempat ini memang hening, namun suara kendaraan masih samar-samar terdengar, seperti suara AC di ruangan yang hening. Hal ini menenangkan, membuatku tahan duduk atau berbaring di sini seharian. Bukankah itu yang dikatakan beristirahat? Tidak melakukan apapun? Orang yang beristirahat dengan mendengarkan lagu atau bermain game adalah pecundang. Mereka tidak mengerti esensi sebenarnya dari kata istirahat. Terpujilah kami para kaum yang beristirahat dengan tidur dan tidak melakukan apapun. Menghabiskan waktu adalah kuncinya.
            Sayangnya, hari ini aku tidak bisa terlalu lama berada di sini. Alasannya adalah karena aku harus menonton pertandingan sepakbola tim kesayanganku sore nanti. Aku merupakan seorang penonton yang berbakat, sedari kecil sudah menjadi penonton. Timku membutuhkanku untuk melancarkan mantra-mantra pembawa petaka kepada tim lawan, mana bisa aku mengecewakan mereka.
            Aku bangkit berdiri dan membersihkan bagian belakang pakaianku dari debu yang menempel. Ketika aku berbalik, aku melihat seseorang. Orang itu melihatku. Itu merupakan tatapan mutualisme. Bila aku tidak salah menghitung, telah berlalu 10 detik semenjak mata kami bertemu. Baik aku maupun dirinya terpaku diam tidak melakukan apa-apa. Haruskah aku lari? Ya, seharusnya aku lari. Bila kalian melihat apa yang aku lihat, kalian akan setuju ini merupakan situasi yang aneh. Tepat ketika aku hendak menggerakkan kakiku, gadis telanjang didepanku itu berbicara.